Sabtu, 22 Desember 2007

Gadis Kecil Bernama Echa


Aku sayang gadis kecil ini.
Gadis kecil sepuluh tahun yang berlari ke kamar sambil tertawa malu diikuti adik-adik kecilnya, waktu aku datang ke rumahnya pertama kali. Ayahnya menggiring mereka menemuiku dan dia menatapku dengan mata bundarnya, penuh rasa ingin tahu.
Aku mengajak mereka mengobrol dan bercanda, dan si mata bundar itu memperlihatkan puisi-puisinya di komputer ayahnya.

Dia duduk di sebelahku, satu kursi berdua. Sambil merangkulnya, aku membaca puisi-puisinya.

Dan sungguh aku tak pernah sekagum itu pada seorang gadis kecil. Dia bukan gadis kecil biasa rupanya. Dia pandai mencurahkan isi hatinya menjadi rangkaian kata-kata indah dan mengharukan.

Malu-malu dia menerangkan makna setiap puisinya. Kebanyakan tentang almarhumah ibunya yang meninggal karena kanker payudara.
Begitu pedih. Begitu menyentuh. Dan kau tidak akan pernah bisa sungguh-sungguh memahami perasaannya jika masih memiliki seorang ibu yang selalu bisa memeluk dan dipeluk.

Gadis kecil ini membuatku takut kehilangan ibuku. Yang meskipun kadang-kadang bawel, tapi selalu menelepon ke ponselku menanyakan kabar atau menceritakan hal-hal sepele. Sekarang aku tahu, Ibu hanya ingin menunjukkan kepadaku bahwa dia selalu ada untukku.

Sebelum bertemu gadis kecil ini, aku tidak pernah menyadari bahwa aku sangat membutuhkan ibuku.

Sekarang, dia cuma punya ayahnya. Dan aku. Yang mencoba menjadi sahabatnya.
Dalam koleksi puisinya, aku menemukan puisi tentang ayahnya yang diberinya judul "Yang Tak Pernah Mengeluh."

Membuatku menangis terharu, karena aku tahu ayahnya sangat mencintai dia dan adik-adiknya.
Aku tahu, karena di setiap obrolan kami, ayahnya selalu menyelipkan cerita tentang gadis-gadis kecilnya....

Echa...
Seperti ibuku, aku akan mengirimimu sms atau menelponmu meski hanya untuk menceritakan hal-hal sepele. Aku ingin kamu tahu, aku juga selalu ada untukmu....

(Ditulis Tante Retno untuk Echa)

0 Comments:

Post a Comment