Senin, 08 November 2010

PENABUR DOA

Meresap pada dinding kalbu
Kala sunyi dikau meratap
Retih api semakin menekan dadaku
Tak mampu aku mengucap...
Rindukan sesuatu yang telah sirna
Berharap akan selalu abadi dalam jiwa
Akulah penebar doa...
Berikan lentera untuk terangi malam
Suguhkan nyala api yang menghangatkan
Kau tak tahu betapa lelahnya diri ini
Bangun ketika subuh dalam merangkai mimpi
Namun tak ada rasa sesalku
Terurai syukurku atas anugerah
Dengan mata aku memandang
Dan mengartikan tiap isyarat kepedihan
Dengan telinga aku mendengar
Desah gelisah dalam keresahan
Dengan tangan aku mengangsurkan
Sedikit bantuan yang bisa kuusahakan
Dengan kaki aku melangkah
Mencoba menggapai kasih sayang
Untuk kusalurkan dari hati ini
Bunga cintaku ingin buatmu berseri...
Jika aku penebar doa yang angkuh
Tak akan kubuang waktuku untuk berletih diri
Namun nurani berbisik di ambang sanubari...
Akulah penebar doa...
Yang rindu akan jiwa merdeka
Lepaskan tangis dari kaum papa.

-29.08.2010-

Gemuruh


Bunyi gemuruh itu terdengar tiba-tiba
tak terduga dari mana asalnya.

Merapi yang berdiri gagah
menyajikan indah paronama
tiba-tiba penuh gejolak amarah.

Gemuruh itu terdengar bagai runtuh
ribuan tiang penyangga
lalu damai pun rubuh
gemuruh.. gemuruh.. gemuruh..
kian akrab di telinga.

Merapi yang jadi kawan setia selama ini
mendadak berubah bengis dan tanpa ampun
memuntahkan panglima gembelnya
menghanguskan seisi desa.

Lerengmu dulu tempat anak-anak bercanda
tempat petani mencari pakan ternaknya
namun kini menjadi sumber bencana
jalur turunnya lava perenggut nyawa.

Doa kami kepada-Mu, Ya Rabbi
kembalikan damai di desa kami
kami rindukan suasana tenteram berseri
ketenangan di sekitar Gunung Merapi.

-8.10.2010-

Sabtu, 25 September 2010

UNDER THE MOONLIGHT

Aku dan Hikari sudah bersahabat sejak masuk TK. Hampir 8 tahun kami menjalani kehidupan penuh warna, saling menopang ketika badai menerpa dan berbagi semangat untuk meraih cita-cita.

Kukira persahabatan kami sudah cukup erat untuk bisa berbagi rahasia dan mengarungi kesulitan bersama. Tapi ternyata aku salah.

Setidaknya kemarin kami masih pergi ke toko buku bersama untuk membeli komik kesukaannya, lalu mampir ke toko makanan kecil untuk membeli cokelat favoritku.
Kemudian semuanya terjadi begitu cepat dan aku terlempar dalam satu keadaan yang membuat kepalaku tidak bisa berhenti berdenyut nyeri.

Aku hanya bisa tertunduk pilu menyaksikan sahabatku terbaring lemah di atas tempat tidur UGD berseprai putih itu. Slang oksigen terpasang pada hidung Hikari dan tubuhnya ditusuk berbagai jarum yang terhubung pada tabung-tabung berisi cairan aneh. Wajahnya pucat, bibirnya biru dan tubuhnya sangat dingin sampai-sampai aku mengira dia tak bisa jadi hangat lagi.

Tanpa terasa air mataku menitik.

“Jangan salahkan dirimu sendiri, Tsuki. Ini semua takdir Tuhan,” kata Yume, kakak Hikari. “Sebaiknya kau tanyakan pada Hikari saja setelah dia sadar nanti, apa yang membuatnya enggan bercerita kepadamu tentang rahasia besarnya.”

Aku diam seribu bahasa. Ya, itu pun kalau Hikari masih dapat membuka matanya setelah koma selama 13 jam. Hikari, kalau kau bisa membaca pikiran orang, kau akan tahu betapa cemasnya diriku.

Malam itu mendekati pukul 12, aku meminta pada orangtua Hikari agar diperbolehkan menginap di rumah sakit untuk menemani Hikari. Kak Yume harus pulang karena tugas kuliahnya menumpuk di rumah.

Kugenggam jemari tangan Hikari dan kurasakan hawa dingin merambati tubuhku, menusuk sampai ke tulang. Jemari Hikari sedingin es batu.

“Hikari, kita telah bersahabat cukup lama. Kukira kita sudah merangkai kepercayaan di antara kita sehingga tak satu pun ada bagian dari diriku yang tak kau ketahui. Tapi mengapa kau tak membagi satu rahasiamu, Hikari? Rahasia terbesar yang telah memilih waktunya untuk terbongkar di hadapanku. Penyakit yang kau sembunyikan itu bukanlah penyakit ringan, Hikari. Apa kau tega membiarkanku menderita jika kehilangan dirimu?”

Aku memang bodoh, mengajak bicara seseorang yang sedang koma, dengan harapan sia-sia ingin mendengar sahutannya.

Lalu kurasakan jemari Hikari bergerak. Ini bukan mimpi, aku sudah mencubit lenganku dan rasanya sakit sekali. Kelopak mata Hikari terbuka perlahan.

“Tsu..ki.”

Aku meremas pelan jemarinya.

“Aku ingin..meminta sesuatu padamu,” lirih terdengar suara jernih Hikari mengalir dari sela kedua bibir birunya.

“Katakan saja, Hikari, katakan saja.”

“Bantu aku duduk di kursi roda..dan tolong antar aku ke taman belakang rumah sakit ini.”

“Tidak, Hikari. Kau masih sangat lemah. Bagaimana mungkin kau kuat menghadapi udara dingin di luar sementara tubuhmu sendiri bagaikan kutub utara begitu?”

“Percayalah, Tsuki. Aku tahu ini waktu yang tepat untuk menguraikan semuanya.”
Sinar kecil dalam bola mata sayunya membuatku luluh. Dan aku pun membantunya duduk di kursi roda, lalu mendorongnya dengan sabar di sepanjang koridor rumah sakit dalam keremangan.

Jadi di sinilah kami, di tengah-tengah taman belakang rumah sakit yang penuh dengan bunga-bunga kecil warna putih. Jauh di atas kami, bulan purnama bersinar terang menyinari wajah pucat Hikari.

“Aku ini rembulan dan kau cahayanya. Bulan tidak akan seindah ini tanpa cahayanya, begitu juga aku yang tak bisa apa-apa tanpamu, Hikari.”

Sejenak kebisuan hadir di antara kami.

“Maafkan aku, Tsuki. Aku benar-benar minta maaf.”

“Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya apa sih yang ada dipikiranmu saat kau memutuskan untuk merahasiakan penyakitmu dariku?”

“Aku..tidak tahu. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Yang kuinginkan saat itu hanyalah membuatmu tersenyum. Tsuki, dengan melihat senyummu pun aku sudah bahagia, tak peduli penyakit yang menggerogotiku.”

“Tapi bukankah akan lebih mudah bagimu untuk bercerita saja? Itu akan mempercepat penyembuhanmu. Maafkan aku jika selama ini aku tidak peka terhadap keadaanmu, dan aku terus-terusan mengajakmu pergi jalan-jalan.”

Senyum samar terkembang di bibir Hikari. Semilir angin malam menyibak sejumput rambut di keningnya. Aku beruntung dapat menyaksikan sinar dua bulan yang indah malam ini, meski Hikari tak bersinar sekuat sebelumnya. Aku tetap menyayangi sahabatku itu.

“Aku minta maaf, Tsuki. Kini yang kuinginkan hanyalah sembuh, meski kemungkinan untuk itu sangat tipis. Kau mau mendukungku kan, Tsuki?”

“Tentu saja! Aku akan selalu ada di sampingmu untuk menyemangatimu, aku ingin kau berjuang melawan penyakit itu, dan kembali ke kehidupan kita untuk mengejar cita-cita kita,” aku merasakan suaraku bergetar ketika mengatakan itu.

Hikari mengangguk mantap dalam balutan syalku yang kulingkarkan di lehernya. Aku tahu masing-masing dari kami akan berusaha sebisa mungkin menepati janji persahabatan ini. Janji untuk tetap bergandengan tangan apapun yang terjadi...

Jari kelingking kami pun bertaut di bawah sinar bulan purnama sebagai saksi dari angkasa.

*Hikari : Cahaya
*Tsuki : Bulan

ALIYAH SEKAR AYU
21 September 2010

MEMAKU SUBUH

Aku memakukan Subuh pada dinding jiwaku
Menggaungkan adzannya dalam rongga hatiku
Dan menyimpan sejuk suasananya pada kelopak mataku.

Aku memakukan Subuh dan asma Allah
Jauh dalam nurani, ingin aku berbisik sendiri
Membagi perasaan damai subuhku kepada Tuhan
Bahwa Subuh-Nya begitu kukagumi.

Aku memakukan Subuh dalam jernih gemericik sungai
Ketika arusnya menghantam bebatuan
Kurasakan dalam denyut nadiku
Ada Subuh mengalir tenang.

Aku ingin terus larut dalam Subuh-Mu yang menggetarkan
Lalu perlahan Kau membimbingku
Mengikuti irama Dzuhur, Asar dan Maghrib
Serta Isya’ di penghujung petang

Ketika rembulan sudah berlayar di langit
Usai kutunaikan serangkai lima kewajibanku
Mataku terpejam penuh kelegaan
Bunga tidur penuh kerinduan menyelimutiku
Rindu akan Subuh-Mu,
Kuterpaku di ambang malam.

Esok hari,
Aku memakukan Subuh pada dinding hati
Kusambut Subuh dengan senyum dan segenap kesucian diri.

Yogya, 22 Februari 2010
Aliyah Sekar Ayu

Penabur Doa

Meresap pada dinding kalbu
Kala sunyi dikau meratap
Retih api semakin menekan dadaku
Tak mampu aku mengucap...
Rindukan sesuatu yang telah sirna
Berharap akan selalu abadi dalam jiwa
Akulah penebar doa...
Berikan lentera untuk terangi malam
Suguhkan nyala api yang menghangatkan
Kau tak tahu betapa lelahnya diri ini
Bangun ketika subuh dalam merangkai mimpi
Namun tak ada rasa sesalku
Terurai syukurku atas anugerah
Dengan mata aku memandang
Dan mengartikan tiap isyarat kepedihan
Dengan telinga aku mendengar
Desah gelisah dalam keresahan
Dengan tangan aku mengangsurkan
Sedikit bantuan yang bisa kuusahakan
Dengan kaki aku melangkah
Mencoba menggapai kasih sayang
Untuk kusalurkan dari hati ini
Bunga cintaku ingin buatmu berseri...
Jika aku penebar doa yang angkuh
Tak akan kubuang waktuku untuk berletih diri
Namun nurani berbisik di ambang sanubari...
Akulah penebar doa...
Yang rindu akan jiwa merdeka
Lepaskan tangis dari kaum papa.

-29.08.2010-

KEJU-KEJU RINDU


Jarum jam dinding menunjuk angka satu
Matahari bersinar terik, membakar kulit
Tanah di luar gersang,
segersang kerongkongan ini.

Ketika kutilik meja makan
lalu meneguk segelas air
Kutemukan sepiring kue keju nikmat
Menanti untuk disantap.

Tanpa berpikir, langsung kulahap.

Pukul setengah dua siang,
Aku kembali ke kamar dengan perut kenyang
Rasa keju yang lezat masih membekas di lidahku
Seperti kenanganmu melekat di hatiku,
kawan,
Terimakasih atas kue kejumu!
Semoga bisa mengobati rindu.

-24.01.2010-

Sabtu, 09 Januari 2010

Portal to DreamLand


Suatu hari yang terik, waktu menunjukkan pukul 13.40. Aku sedang membaca sebuah novel yang menurutku membosankan. Mungkin aku takkan menyentuh novel itu jika saja ada bacaan lain yang lebih bagus.

Semua saudaraku sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang asyik menggambar, sedang membuat mie instan, ada juga yang terlelap. Tentu saja mereka bukan saudara kadungku, namun karena kami telah ditakdirkan untuk hidup bersama di panti ini, hubungan kami pun jadi seakrab persaudaraan.

Ketika aku tiba pada pertenghan novel yang kubaca, kurasakan kamarku jadi lebih terang bermandi cahaya. Segera setelah itu aku membalikkan tubuh ke belakang, dan tampak olehku sebuah lubang berdiameter setengah meter ternganga di dinding.

Aku terkejut, tapi mencoba tetap tenang. Sudah sering aku membaca tentang ini dalam cerita, tapi belum pernah mengalaminya langsung. Perlahan, aku masuk ke dalam lubang bercahaya itu. Dan here I am, aku tiba di depan gerbang warna-warni bertuliskan 'Welcome to DreamLand'.

Aku tak tahu berapa lama aku di tempat asing itu. Yang kurasakan hanya perasaan senang dan puas karena segala yang kuminta dapat terkabul dengan segera. Namun kemudian aku sadar. Di dunia asing ini aku hanya seorang diri di tengah segala keajaiban. Tak ada teman untuk berbagi rasa senang ini.

Akhirnya aku pun berlari... dan terus berlari... mencari cara untuk kembali ke bumi. Aku lelah terus berlari, namun jauh di depan sana kulihat lubang portal untuk kembali ke panti. Aku pun mencoba melupakan pegal yang mendera kakiku dan menyeka keringat di dahi. BLEP. Aku masuk ke lubang itu dan kembali terduduk di kamar. Seketika portal itu menghilang.

Aku tak peduli apakah ini nyata atau hanya khayalanku, tapi aku memutuskan untuk kembali menjalani kegiatanku seperti biasa. Di sini, di panti ini, aku telah menemukan duniaku yang sebenarnya. Meski tidak semua yang kuinginkan dapat terpenuhi, setidaknya aku punya banyak saudara yang selalu dapat membuatku tersenyum dan merasakan kebahagiaan sejati.

Kubuka pintu kamarku, kulihat semua saudaraku menoleh ke arahku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyuman mereka, menutup pintu, duduk di ranjang dan meraih novel yang tadi kubaca, masih sambil tersenyum. Kulanjutkan membaca novel itu. Ajaib! Kini cerita dalam novel itu tak lagi membosankan.

Senin, 04 Januari 2010

Hanya Hampa

Jelas aku sedang bertekuk lutut di bawah nestapa menjulang
Ketika sudah tenggelam di ufuk barat, sang surya merenung
Memikirkan nasib para wanita penumbuk padi
yang belum bangun dari duduk simpuh
sama seperti aku yang
seakan beku diselimuti kehampaan ini.

Hanya hampa
memecah tabir keceriaan
menepis kebahagiaan di jalan lengang
aku terkurung di lembah sunyi
yang menyimpan sejuta misteri kehampaan ini.

Meski tak terhitung lagi berapa kali sudah aku menguap
mencoba mengusir hawa yang tak mengenakkan
namun pengaruhnya begitu kuat dan melumpuhkan.
Aku bertekuk lutut di bawah nestapa yang kian menjulang,
hanya hampa yang kurasa.

;;