Jumat, 26 Juni 2009

Bayangan Maut


Kicau burung menyelamatkanku dari gelombang dan arus mimpi yang semalam menyeretku ke dalam lautan bawah sadar. Ketika kuteringat pada bunga tidurku, hatiku terkoyak. Sesuatu telah mencabik kedamaianku.

Mimpi itu mengisahkan kematianku. Ketika maut menjemput, tiada daya aku menolaknya. Sang Izroil pun memisahkan nyawaku dari raganya.
Aku tak mengerti ketika kulihat jasadku terbujur kaku di tempat tidur. Lalu kudengar seseorang mengetuk pintu kamarku dari luar. "Buka saja!" kataku. Namun ketukan pintu itu tidak berhenti, dan kusadari bahwa siapapun tak lagi dapat mendengar suaraku, orang yang sudah tak sealam lagi dengan mereka.

Akhirnya pintu kamarku terbuka. Aku tak mampu melihat ekspresi wajah ayahku. Perih hatiku, ayah menangis meraung memeluk jasadku. Ia tahu bahwa aku telah tiada. Ingin kuberitahu bahwa aku di sini, namun percuma. Tak akan ada yang melihat wujudku, atau mendengar suaraku. Aku sudah mati.

Kedua malaikat memengangiku di sisi kanan dan kiri. Aku sudah tak mampu menangis. Satu demi satu orang-orang pergi meninggalkan gundukan tanah merah tempat jasadku disatukan dengan bumi. Hingga akhirnya tinggal ayahku, bersimpuh sambil sedikit tersedu. Sama sepertiku, kehabisan air mata.

"Ayah, aku di sini. Meski kita tak bisa bersama lagi, tapi aku akan ada untukmu. Aku akan membantumu, aku akan melindungi adik-adik dengan segenap kemampuanku. Jangan bersedih, ayah. Aku tak ingin engkau tenggelam dalam derita. Maafkan aku, ayah, tapi aku harus kembali menghadap Sang Kuasa."

Kedua malaikat membawaku terbang meninggalkan pemakaman. Tak lama, aku sudah berada di ketinggian. Pemakaman hanya terlihat sebagai petak kecil dengan nisan-nisan bertebaran di bawah sana. Aku tak lagi melihat ayah, atau mungkin ia sudah kembali ke rumah.
Aku harus rela pergi menghadap-Nya. Meski meninggalkan pekerjaan bertumpuk bagi ayah, namun aku tak berdaya menghadapi kuasa-Nya. Jangan bersedih, ayah, jangan menangis, adik-adikku. Aku akan selalu di hati kalian.

Sorot mentari yang sudah tinggi kembali membawaku ke alam sadar. Kucubit keras-keras lenganku, lalu berteriak kesakitan. Ayah segera datang, kecemasan terbayang di wajahnya.
"Ayah, aku belum mati, bukan?" tanyaku perlahan.

"Kau ini bicara apa. Kau masih di dunia, belum saatnya kembali pada Yang Maha Esa. Ayo, segeralah bangun, bantu ayah dan awasi adik-adikmu," jawab ayah. Aku tahu banyak tugas menumpuk untuk kukerjakan. Namun saat ini aku tak berniat mengeluh. Aku bersyukur masih punya waktu hidup di dunia, dan aku akan menghabiskannya untuk mengabdi pada keluarga.

Ketika kuteringat pada mimpiku beberapa waktu yang lalu, yang membuatku bersyukur akan setiap hembus nafas yang memperpanjang usia.

0 Comments:

Post a Comment