Sabtu, 25 September 2010

UNDER THE MOONLIGHT

Aku dan Hikari sudah bersahabat sejak masuk TK. Hampir 8 tahun kami menjalani kehidupan penuh warna, saling menopang ketika badai menerpa dan berbagi semangat untuk meraih cita-cita.

Kukira persahabatan kami sudah cukup erat untuk bisa berbagi rahasia dan mengarungi kesulitan bersama. Tapi ternyata aku salah.

Setidaknya kemarin kami masih pergi ke toko buku bersama untuk membeli komik kesukaannya, lalu mampir ke toko makanan kecil untuk membeli cokelat favoritku.
Kemudian semuanya terjadi begitu cepat dan aku terlempar dalam satu keadaan yang membuat kepalaku tidak bisa berhenti berdenyut nyeri.

Aku hanya bisa tertunduk pilu menyaksikan sahabatku terbaring lemah di atas tempat tidur UGD berseprai putih itu. Slang oksigen terpasang pada hidung Hikari dan tubuhnya ditusuk berbagai jarum yang terhubung pada tabung-tabung berisi cairan aneh. Wajahnya pucat, bibirnya biru dan tubuhnya sangat dingin sampai-sampai aku mengira dia tak bisa jadi hangat lagi.

Tanpa terasa air mataku menitik.

“Jangan salahkan dirimu sendiri, Tsuki. Ini semua takdir Tuhan,” kata Yume, kakak Hikari. “Sebaiknya kau tanyakan pada Hikari saja setelah dia sadar nanti, apa yang membuatnya enggan bercerita kepadamu tentang rahasia besarnya.”

Aku diam seribu bahasa. Ya, itu pun kalau Hikari masih dapat membuka matanya setelah koma selama 13 jam. Hikari, kalau kau bisa membaca pikiran orang, kau akan tahu betapa cemasnya diriku.

Malam itu mendekati pukul 12, aku meminta pada orangtua Hikari agar diperbolehkan menginap di rumah sakit untuk menemani Hikari. Kak Yume harus pulang karena tugas kuliahnya menumpuk di rumah.

Kugenggam jemari tangan Hikari dan kurasakan hawa dingin merambati tubuhku, menusuk sampai ke tulang. Jemari Hikari sedingin es batu.

“Hikari, kita telah bersahabat cukup lama. Kukira kita sudah merangkai kepercayaan di antara kita sehingga tak satu pun ada bagian dari diriku yang tak kau ketahui. Tapi mengapa kau tak membagi satu rahasiamu, Hikari? Rahasia terbesar yang telah memilih waktunya untuk terbongkar di hadapanku. Penyakit yang kau sembunyikan itu bukanlah penyakit ringan, Hikari. Apa kau tega membiarkanku menderita jika kehilangan dirimu?”

Aku memang bodoh, mengajak bicara seseorang yang sedang koma, dengan harapan sia-sia ingin mendengar sahutannya.

Lalu kurasakan jemari Hikari bergerak. Ini bukan mimpi, aku sudah mencubit lenganku dan rasanya sakit sekali. Kelopak mata Hikari terbuka perlahan.

“Tsu..ki.”

Aku meremas pelan jemarinya.

“Aku ingin..meminta sesuatu padamu,” lirih terdengar suara jernih Hikari mengalir dari sela kedua bibir birunya.

“Katakan saja, Hikari, katakan saja.”

“Bantu aku duduk di kursi roda..dan tolong antar aku ke taman belakang rumah sakit ini.”

“Tidak, Hikari. Kau masih sangat lemah. Bagaimana mungkin kau kuat menghadapi udara dingin di luar sementara tubuhmu sendiri bagaikan kutub utara begitu?”

“Percayalah, Tsuki. Aku tahu ini waktu yang tepat untuk menguraikan semuanya.”
Sinar kecil dalam bola mata sayunya membuatku luluh. Dan aku pun membantunya duduk di kursi roda, lalu mendorongnya dengan sabar di sepanjang koridor rumah sakit dalam keremangan.

Jadi di sinilah kami, di tengah-tengah taman belakang rumah sakit yang penuh dengan bunga-bunga kecil warna putih. Jauh di atas kami, bulan purnama bersinar terang menyinari wajah pucat Hikari.

“Aku ini rembulan dan kau cahayanya. Bulan tidak akan seindah ini tanpa cahayanya, begitu juga aku yang tak bisa apa-apa tanpamu, Hikari.”

Sejenak kebisuan hadir di antara kami.

“Maafkan aku, Tsuki. Aku benar-benar minta maaf.”

“Ya, memang sudah seharusnya begitu. Memangnya apa sih yang ada dipikiranmu saat kau memutuskan untuk merahasiakan penyakitmu dariku?”

“Aku..tidak tahu. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu. Yang kuinginkan saat itu hanyalah membuatmu tersenyum. Tsuki, dengan melihat senyummu pun aku sudah bahagia, tak peduli penyakit yang menggerogotiku.”

“Tapi bukankah akan lebih mudah bagimu untuk bercerita saja? Itu akan mempercepat penyembuhanmu. Maafkan aku jika selama ini aku tidak peka terhadap keadaanmu, dan aku terus-terusan mengajakmu pergi jalan-jalan.”

Senyum samar terkembang di bibir Hikari. Semilir angin malam menyibak sejumput rambut di keningnya. Aku beruntung dapat menyaksikan sinar dua bulan yang indah malam ini, meski Hikari tak bersinar sekuat sebelumnya. Aku tetap menyayangi sahabatku itu.

“Aku minta maaf, Tsuki. Kini yang kuinginkan hanyalah sembuh, meski kemungkinan untuk itu sangat tipis. Kau mau mendukungku kan, Tsuki?”

“Tentu saja! Aku akan selalu ada di sampingmu untuk menyemangatimu, aku ingin kau berjuang melawan penyakit itu, dan kembali ke kehidupan kita untuk mengejar cita-cita kita,” aku merasakan suaraku bergetar ketika mengatakan itu.

Hikari mengangguk mantap dalam balutan syalku yang kulingkarkan di lehernya. Aku tahu masing-masing dari kami akan berusaha sebisa mungkin menepati janji persahabatan ini. Janji untuk tetap bergandengan tangan apapun yang terjadi...

Jari kelingking kami pun bertaut di bawah sinar bulan purnama sebagai saksi dari angkasa.

*Hikari : Cahaya
*Tsuki : Bulan

ALIYAH SEKAR AYU
21 September 2010

0 Comments:

Post a Comment