Senin, 14 Juli 2008
Kedung Sekokop ini adalah tempat yang membuat orang dewasa seperti Bapak harus agak megap-megap ( sulit bernapas), sebab atap guanya merendah hingga mendekati permukaan air, dan orang dewasa harus melewatinya dengan berjongkok atau merunduk, sebab bila tidak kepala akan terbentur atap gua. Nah, karena harus berjongkok itulah, permukaan menjadi setinggi mulut dan membuat orang dewasa megap-megap. Tapi buat aku nggak, kok. Aku masih terlalu pendek sehingga atap gua yang rendah pun tak sampai menyentuh kepalaku. Tapi, ya, permukaan air setinggi dadaku membuatku agak megap-megap juga.
Bersama : Om Iyek, Om Lejan, Bapak, Tya, Naya, Tante Retno, Tante Igo.
Label: kegiatan
Lagi–lagi tatapan mata itu
menari–nari di hadapanku
seakan membayangi diriku
’tuk ucapkan kata rindu padamu
Bunda...
dalam keheningan malam
serta deras alir sungai penuh kebeningan
dan embun kabut yang selimutiku
selalu teringat saat–saat bahagia kita
dan kenangan yang masih membekas
tiada pernah pudar selamanya
dalam hatiku
Peluk hangatmu
yang terus baluri tubuhku
dengan doa penuh ketulusan
Kau berikan lagi
peluk hangat itu
Kau jalari lagi
peluk hangat itu
Pada tubuhku yang menggigil
kumal dan beradu dengan debu
Terimakasih, bunda.....
-21.01.2008-
Label: Puisi
Selama ini aku tak pernah mengerti
Mengapa ada orang yang masih mencoba
Memanggil bayang-bayang
Selama ini aku tak pernah mengerti
Mengapa masih ada orang
yang bersiul demi kegelapan hampa
Selama ini yang kutahu hanya
Bagaimana orang dewasa menjalin kasih dengan anaknya
Bagaimana orang dewasa menyulam cinta untuk anaknya
Bagaimana orang dewasa mencoba mengerti perasaan anaknya
dan bagaimana sang anak tak kenal lelah
untuk berusaha menjaring kasih dan cinta
yang ditaburkan. Bukan hanya satu.
Tapi, aku masih belum mengerti
Mengapa orang dewasa pun memanggil bayang-bayang
tak bernama.
Padahal di sisi mereka selalu setia
sang anak menanti
sang Papa memanggil namanya.
”Marilah, Nak,
Kami tak akan memanggil bayang-bayang lagi.
Tapi, kami akan memanggil namamu.
Bila ada sesuatu,
Katakanlah, Nak.
Begitu juga dengan kami,
Orang dewasa yang mencoba mengerti,
Hati kanak, seperti yang kau punya.”
-12.03.2008-
Label: Puisi
Jumat, 11 Juli 2008
Hari minggu tanggal 16 Desember 2007, aku diajak Bapak ke Gua Cerme lagi. Kami ke sana sama Tante Retno, Tante Igo, Om Iyek, Om Lejan dan kedua adikku, Tya dan Naya. Asyik buanget, deh ! Pasti, awal-awalnya agak takut-takut juga, sih, tapi perasaan takut itu langsung dapat ditepis, berganti decak kagum karena pesona gua yang tiada duanya.
Sebenarnya lima tahun lalu, tepatnya waktu aku masih TK, aku sudah pernah diajak ke Gua Cerme ini. Tapi karena dulu aku masih terlalu kecil dan pendek, aku ditarik pake ban. Kan jadi kurang asyik gitu ! Habis aku nggak bisa ngrasain apa-apa. Iya kan ? Makanya aku senang banget diajak lagi ke Gua Cerme kali ini, apalagi ada adik-adikku yang perlu dikenalkan dengan daerah karst!
Tahu nggak, keluar dari gua kami disambut oleh apa? Hujan ! Iya, hujan deras sekali! Udah menggigil habis menjelajah sungai bawah tanah Gua Cerme, masih harus melewati ribuan tetes air yang membasahi seluruh pakaian kami. Agak sebel juga sih. Tapi yang penting aku sudah mendapat pengalaman berharga. Lagi pula hujan kan tidak bisa ditolak? Hujan adalah pemberian dari Yang Kuasa, sehingga mau tidak mau kita harus ikhlas menerima.
Oh, ya. Bicara tentang keputusan Tuhan, aku jadi teringat bahwa penjelajahan Gua Cerme bersama bapak dan adik-adikku kali ini tidak didampingi ibuku tercinta. Sedih ya? Kuharap enggak, karena siapa tahu, ibuku di surga lagi menjelajah gua abadi bersama Tuhan. Hehe.. maklum, pengkhayal. Sukanya mikirin sesuatu yang aneh-aneh. Tapi nggak ada salahnya kan?
Ya sudah, sekian dulu ceritaku kali ini. Kapan-kapan kusambung lagi, deh. Bye bye !
Label: kegiatan